Tuesday, January 8, 2008

Berkaca dari bangsa lain

Setiap orang pasti memiliki cita-cita. Begitupula dengan aku. Keinginan terpendamku hanya satu, aku ingin berkeliling dunia. Beruntung, sejak kecil, kesempatan itu seringkali terbuka. Sejak usia 5 tahun, papa dan mama sudah mengajakku berjalan-jalan ke beberapa negara Asia. Ketika SMP, aku mengikuti homestay holiday di Sydney. Tahun berikutnya Eropa menjadi tujuanku kala libur panjang kenaikan sekolah. Masa SMA dan kuliah, acara jalan-jalan ke luar negri, vakum dulu. Masa bekerja, barulah kesempatan itu terbuka lagi. Taiwan, Australia, Filipina, menjadi tujuan. Bahkan kesempatan untuk mengunjungi berbagai kota di Indonesia pun terbuka, karena tanggung jawab pekerjaan.

Selama masa jalan-jalan itu, aku mempelajari banyak hal, terutama dari negara Barat. Mereka sangat ketat dengan kedisplinan. Penghargaan terhadap hasil karya seseorang dan hak asasi manusia sangat tinggi. Aku teringat sebuah kejadian ketika aku berkunjung ke Sydney. Untuk buang air kecil saja, mereka bisa antri dengan tertib dan sabar untuk menunggu giliran. Iseng, sambil dipelototi semua orang yang lagi antri, aku sengaja ke depan barisan untuk melongok ada berapa banyak kamar mandi sih yang mereka punya, sampai mereka bisa antri dengan rapi seperti itu. Ternyata mereka memiliki barisan kamar mandi yang cukup banyak, sekitar 10 ruang. Sistem seperti ini sungguh adil, setiap orang pasti dapat giliran. Sedangkan sistem seperti ini ga bisa diterapkan di Indonesia. Budaya serobot menyerobot sangat kental disini, apalagi ditunjang dengan temperamen orang Indonesia yang tidak sabaran, emosi, tidak disiplin. Sebuah karakter yang sangat tidak cocok, mengingat banyak orang berduit di Indonesia (terutama Jakarta) yang seringkali menghaburkan uang di luar negri. Perilaku seperti ini sungguh membuat malu.

Bahkan di Singapura, ada candaan seperti ini, kalo di MRT, ada orang yang bawa minuman di dalam MRT, pasti orang Indonesia. Begitu terkenalkah ketidakdisplinan dari orang Indo? Sungguh membuat malu.

Di Jakarta pun, kejadian serupa sering terjadi di kereta, di lift, busway, dimanapun deh. Ketika mau memasuki lift, banyak dari orang Indo yang sudah masuk duluan ke dalam lift, padahal orang yang di luar lift belum keluar. Logisnya, gimana orang bisa masuk ke dalam lift, kalo orang di dalam lift aja belom keluar.

Di busway, mau masuk busway aja harus dorong-dorongan. Mau keluar busway pun harus dorong-dorongan pula. Belum lagi aku pernah menyaksikan seorang pria muda, berebutan kursi di Busway dengan kakek tua. Logisnya,kakek tua itu tidak memiliki kondisi tubuh yang prima, jadi ada baiknya bila ia diberikan tempat duduk, daripada kesehatannya terganggu.

Di negara manapun di dunia, ketika kita naik bis dan melihat ada orang tua, ibu hamil atau anak-anak yang tidak kebagian tempat duduk. Orang yang lebih muda harus memberikan kursinya bagi mereka.

Indonesia, negara yang sejak dulu dibanggakan, namun karakter manusianya tidak pernah mengalami kemajuan, yang ada hanyalah degradasi. Sopan santun, tata karma dianggap hal kuno yang tak perlu diladeni lagi. Padahal tata krama itulah yang mengatur agar hubungan antar manusia bisa harmonis.

Beberapa bulan lalu, aku mendengar sebuah kejadian , yang dialami oleh orang Filipina. Setiap kali ia berkunjung ke Jakarta, dalam paspornya selalu ia taruh 20 dolar US. Alasannya supaya ia tidak dipersulit ketika masuk Imigrasi. Mendengar hal ini aku pun teringat, kejadiannya terjadi ketika aku mau berangkat ke Manila. Saat sedang antri di Imigrasi Jakarta, di depanku ada seorang asal Tiongkok yang mau pulang ke negrinya. Aku harus nunggu sekitar 5-10 menit, karena orang ini dinterogasi macam-macam dan diancam ga bisa keluar dari Jakarta karena 6 bulan lagi paspornya akan habis masa berlakunya. Setelah beradu mulut cukup lama, akhirnya si Engkong dikasih juga keluar. Logisnya, ya iyalah tuh Engkong kan mo pulang ke negaranya, ngapain juga Indo nahan-nahan dia, emangnya kita penampung rakyat orang yang ga bisa pulang ke negaranya. Ada –ada aja nih orang Indo…

Huh….membicarakan perilaku orang Indo ga ada abisnya, yang ada hanya kesel….

Bangka, 5 Januari 2008

Life is An Interesting Journey

Tahun 2007, ketika ku lihat ke belakang sejenak. Ku lihat, sebuah jalan penuh liku. Jalan yang begitu jauh dan dengan medan yang tidak mudah. Namun ketika ku lihat ke depan, aku melihat sebuah jalan dengan medan yang sama yang baru saja ku lalui. Aku pun merasa lega, karena aku berhasil berjalan sampai sejauh ini, dengan sukses. Walau dalam perjalanan sebelumnya aku seringkali jatuh, terpleset bahkan salah arah, tapi walau perlahan dan tertatih, aku terus mencoba untuk bangkit, dan berjalan kembali menuju arah yang benar. Terkadang aku seperti anak kecil yang baru belajar berjalan, aku harus dipapah untuk bisa jalan dengan benar. Terkadang pula, aku benar-benar tidak bisa bangkit, butuh beberapa waktu untuk bisa kembali berjalan.

Itulah sebuah rangkaian kehidupan. Jalan tidak pernah mudah. Bahkan selalu butuh perjuangan dan air mata. Tapi kehidupan selalu adil, bagi siapa yang selalu ingin mencoba dan terus berusaha.

Menutup lembaran tahun ini, untuk pertama kalinya aku menghabiskan malam pergantian tahun di gereja. Aku datang dengan penuh syukur atas berkat Tuhan selama ini. Dan bersiap untuk menyongsong hari esok dengan penuh harapan akan hari depan yang lebih baik.

Dengan lutut bertelut, kami memasuki tahun ini dengan doa. Dengan penuh kerendahan hati, memohon Tuhan untuk berjalan bersama dalam mengarungi kehidupan ini. Dengan penuh rasa syukur, berterimakasih akan berkat dan anugrah yang telah diberikanNya selama ini. Walaupun berkatNya tak selalu datang dalam wujud yang menyenangkan,bahkan terkadang terlalu sakit untuk dilalui, namun itulah berkat yang membuat kepribadian kita menjadi lebih dewasa. Ya…setiap masalah dalam kehidupan ini selalu dapat ditilik dari sisi yang berbeda, asalkan kita mau membuka diri dan dengan kerendahan hati untuk menerimanya.

Setiap hari, setiap saat adalah awal yang baik untuk memulai segala sesuatu.

Tengah malam, pergantian tahun 2007 ke 2008.

If....

Udara malam kota Jakarta yang dingin.

Tetes-tetes air hujan yang terus menguyur bumi.

Suasana kelam mewarnai detik-detik pergantian tahun di Jakarta.

Pesta-pesta yang sudah dengan rapi dipersiapkan sejak berbulan-bulan lalu, terancam batal.

Nun jauh di sana,jauh dari gemerlap kota Jakarta yang hingar bingar. Di Jawa Tengah dan Timur, ratusan ribu orang melewati tahun baru ini dengan kesedihan dan penuh derita. Tempat tinggal, harta benda rusak terendam air bah. Bahkan puluhan nyawa melayang ditelan kegelapan malam nan kekal.

Sisanya yang selamat, terpaksa mengungsi ke tempat yang lebih aman. Meninggalkan semua yang tersisa.

Kedinginan, kelaparan, tempat tinggal yang jorok, sanitasi yang buruk,penyakit yang mulai bermunculan, mewarnai pergantian tahun ini.

Andai saja, musibah ini tidak terjadi…

Mungkin para penjual terompet sudah meraup untung yang besar….

Mungkin, saat ini di atas sebuah panggung, sesosok tubuh indah gemulai sedang meliuk-liukan tubuhnya sambil memperdengarkan suaranya yang merdu melalui irama dangdut.

Mungkin, sebagian besar penduduk desa sedang mengerumuni panggung dangdut sambil ikutan berjoget dan bernyanyi.

Mungkin segerombolan anak muda dengan sepeda motornya, sudah mengelilingi pusat kota serta bersenda gurau bersama.

Mungkin……ah..banyak sekali “mungkin” yang bisa dibayangkan.

Namun, apalah daya, setelah banjir menerjang pada 26 Desember 2007, semua harapan, semua rencana, hilang begitu saja. Mereka dihadapkan dengan kenyataan, bahwa mereka sedang terkena musibah. Dan dengan penuh kesabaran, mereka harus melalui semua ini dengan tegar.

Di sudut lain dunia, pada waktu yang bersamaan, masyarakat dunia dengan penuh sukacita merayakan pergantian tahun ini denga megah dan mewah. Keceriaan dan kebahagiaan terpancar jelas di wajah-wajah ini. Pesta-pesta nan meriah diselenggarakan. Kembang api yang spektakuler diperagakan, makanan dan minuman lezat disajikan, barang-barang nan indah dan rupawan dipamerkan, pakaian-pakaian buatan designer ternama yang harganya selangit, dikenakan oleh manusia beruntung ini.

Wahai, manusia, di tengah kesenangan dan kebahagiaanmu, ingatkah kamu, akan penderitaan yang dialami oleh masyarakat di belahan dunia lain ? manusia yang saat ini hidupnya sedang terkatung-katung tak nentu arah. Yang bergantung pada uluran tangan kita. Ironinya hanya beberapa dari kita yang mau membantu mereka dengan tulus.

Sungguh hidup ini penuh dengan ironi.

1 Januari 2008.